Monday, April 23, 2007

Perenungan untuk diri sendiri

Sabtu kemaren, gue nonton film Monalisa's Smile untuk yang kedua kalinya setelah sekian lama. Dulu, buat gue, film ini ngebosenin abis, sampe-sampe gue nyaris ketiduran. Tapi, skarang, penilaian gue berubah. Monalisa's Smile terasa lebih bermakna. Coz, bagus engganya atau boring engganya sesuatu kan tergantung sudut pandang kita.
"Lihatlah, Monalisa memang tersenyum. Tapi, apakah dia bahagia?"
Begitu kira-kira yang diucapkan salah satu tokoh yang diperanin Kirsten Dunst. Film yang ber-setting di Amerika taun 1950-an itu menyoroti kehidupan dan rutinitas pelajar di sekolah putri yang masih konvensional. Mereka sekolah cuma untuk ngisi waktu sampe ada laki-laki yang dateng ngelamar. Trus, ada tokoh guru (Julia Robert) yang membawa filosofi hidup modern. Jadi, ada 2 hal yang bertentangan di sini. Pihak sekolah yang kuno vs guru baru yang muda dan dinamis.
Sebenernya, konsep film yang berlatar jadul ini masih relevan dengan situasi masa kini, khususnya di lingkup kecil sekeliling gue. Atw, berlaku juga untuk komunitas yang lebih besar. Bayangin aja, di era yang katanya "zaman kebebasan" ini, orang masih terbelenggu pendapat atw pandangan orang lain.
"Apa kata orang kalo gue begini?"
"Aneh ga ya kalo gue begitu?"
Catatan: "Zaman kebebasan" yang gue maksud bukan dalam arti ekstrem. Bukan reformasi, emansipasi, atw feminisme yang kebablasan.
Ga dipungkiri lagi, pikiran "apa kata orang" itu bisa mengintimidasi individu. Malah, mungkin, eksistensi dan karakter seseorang bisa terbunuh karena ketakutan yang muncul akibat tekanan sekeliling. Apalagi, untuk perempuan. Misalnya, dalam hal pilihan hidup, menikah atw ngga (belom x yaaa...). Gue pernah denger ada yang bilang, "Cewe tuh expired umur 30 loh. So, kamu mesti cepet2 cari pasangan." (halaaaaaaaaaaaah..)
Dari situ keliatan kan pandangan umum soal cewe umur 30 ataw lebih yang belom nikah. Dan, status "PERAWAN TUA" bakal nempel di jidat lo. Padahal, siapa pun berhak nentuin sendiri kapan dia akan dan siap nikah tanpa judgement berlebihan dari para makhluk mulut nyinyir.
Sampe-sampe, soal kecantikan juga terkotak-kotak stereotipe yang tumbuh di masyarakat. Cewe cantik itu yang putih, tinggi, langsing, en berambut panjang lurus (liat aja iklan-iklan kosmetik yang sliweran di tv). Ga aneh kalo banyak cewe ter-brain-wash dan jadi obses pengen penampilannya kaya Luna Maya atw Mariana Renata. Malah ada yang bela-belain suntik putih yang skali kedatangan bisa 6 x suntikan--otomatis, bikin lo meriang seharian (hiii..baru bayangin aja gue dah lemes duluan).
Eitzz..degresi ya (hihihi..maap..maap). Balik lagi ke topik tadi. Skali lagi, untuk cari amannya aja, dia (atw, sebutlah kita) milih sesuatu yang akan nyenengin banyak pihak. Meski, dia ngelakuin itu karena terpaksa. Dan, dia juga akan meng-cover dirinya dengan senyum biar orang mikir dia selalu bahagia. Jadi inget nih, ada temen gue yang ceria terus, ga pernah bete, nyengir all day, malah kadang overjoy, tapi sebenernya dia agak tertekan. Ga sebahagia keliatannya. Miris banget kan.
Jujur ya, kekhawatiran itu wajar. Coz, liat aja sekeliling kita. Ketika umum anggap sesuatu yang beda itu absurd, nyeleneh, cuma masalah, atw ganggu banget. Bahkan, orang yang brani jadi diri sendiri kadang dicap ga baik atw keluar jalur dari kebiasaan yang dah dilakuin puluhan taun lamanya.
Beranikah kita tampil?
Beranikah kita nentuin pilihan sendiri tanpa jadi ciut sama judgement sekeliling kita?
Beranikah kita tersenyum tulus bukan karena cuma pengen muasin orang lain?
Pertanyaan-pertanyaan itu sebenernya gue ajuin untuk diri sendiri. Sebagai bahan perenungan. Apakah gue lebih milih jadi seperti Monalisa yang slalu tersenyum palsu atw jadi diri sendiri.

2 comments:

Anonymoussaid...

gw setuju Inang !!! just be ur self euy...

brainwashed said...

jadi diri sendiri yg bisa tersenyum tulus tanpa berharap balik.

Post a Comment

 
© free template by Blogspot tutorial