Aku seorang istri. Setia mendampingi suamiku selama lebih dari 25 tahun. Anak-anak kami mulai beranjak dewasa. Si sulung sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta kenamaan. Adiknya, putri kami satu-satunya, sedang berusaha menyelesaikan skripsinya. Sedangkan, si bungsu masih SMA. Bagi kami, mereka tetaplah anak-anak yang manis dan penurut.
Kehidupan keluarga kami baik-baik saja. Di mata orang, kami adalah keluarga harmonis yang bahagia. Bahkan, tak jarang pula yang ingin menjadi seperti keluarga kami. “Kamu beruntung banget ya, Jeng. Punya suami yang mapan dan sayang sama kamu. Anak-anak juga nurut semua,” kata Bu Min, tetangga samping rumahku. Aku hanya tersenyum mendengar perkataannya itu. Bersyukur.
Tapi, tiba-tiba, apa yang kutata dan kubina selama ini hancur berantakan. Hanya dalam sekali hembusan napas. Bersamaan dengan makin kendurnya kulit di wajahku dan kian banyak salur-salur tipis di seputar mata dan bibirku. Juga, memudarnya warna rambutku yang semula hitam tebal dan berkilau. Ketika aku merasa menua dan tidak cantik lagi seperti dulu.
Kehidupan keluarga kami baik-baik saja. Di mata orang, kami adalah keluarga harmonis yang bahagia. Bahkan, tak jarang pula yang ingin menjadi seperti keluarga kami. “Kamu beruntung banget ya, Jeng. Punya suami yang mapan dan sayang sama kamu. Anak-anak juga nurut semua,” kata Bu Min, tetangga samping rumahku. Aku hanya tersenyum mendengar perkataannya itu. Bersyukur.
Tapi, tiba-tiba, apa yang kutata dan kubina selama ini hancur berantakan. Hanya dalam sekali hembusan napas. Bersamaan dengan makin kendurnya kulit di wajahku dan kian banyak salur-salur tipis di seputar mata dan bibirku. Juga, memudarnya warna rambutku yang semula hitam tebal dan berkilau. Ketika aku merasa menua dan tidak cantik lagi seperti dulu.
Tanpa sepengetahuannya, aku menyadari suamiku punya kekasih, wanita lain yang tentu jauh lebih muda dariku. Bagaimanapun, perempuan punya intuisi yang kuat.. Dan, kebetulan, bukti-bukti perselingkuhannya datang padaku dengan sendirinya. Aku seolah disadarkan pada kenyataan ketika aku menemukan bon kamar hotel di Anyer dalam kantong salah satu celana panjangnya.
Sehelai kertas lusuh atas nama “Tuan dan Nyonya Damar Prasetya” yang ternyata sanggup membuat ketegaranku menguap. Kubaca sekali lagi. Tanggal 28 Desember 2006. Aku ingat, waktu itu suamiku pamit hendak berangkat ke luar kota. Tugas kantor, katanya. Aku juga ingat, hari itu aku membantunya berkemas. Memasukkan pakaian dan perlengkapan mandinya. Dan, sebelum berangkat, seperti biasa, dia mengecup dahiku sekilas. Tersadarlah aku, “Nyonya Damar Prasetya” itu bukan aku, batinku miris.
Apa salahku? Selama ini aku sudah berusaha memberikan yang terbaik. Aku mengabdikan hidupku untuknya dan anak-anak kami. Saat susah maupun senang, aku selalu di sisinya, memberikan dukungan. Terutama, sewaktu ekonomi keluarga kami belum stabil, tinggal di kontrakan sempit dan pengap karena kurang sirkulasi udara. Aku bukan perhitungan. Aku ikhlas, sungguh. Tapi, rupanya upayaku ini tidak cukup. Apalagi, ketika uang, kekuasaan, dan jabatan bisa membeli segalanya.
Ketika kutanyakan padanya, suamiku tidak bisa berdalih lagi. Dia mengakui kalau dia punya affair dengan perempuan lain. Perempuan muda yang lebih pantas menjadi kakak Medya, putri kami. Dia pun menangis dan (mengaku) menyesal, lalu memelukku. Untuk sesaat, kami hanya diam di antara isakan. Aku mencoba memahami alasan bahwa dia tidak biasa mengendalikan perasaannya. (Heh, perasaan atau nafsu, suamiku..??!!)
Pada awalnya aku sering menangis. Lama-lama, aku tidak sanggup lagi menangis, semua terasa sesak. Namun, sebagai seorang ibu, aku tak ingin anak-anak tau kerenggangan di antara orang tuanya. Jadi, aku tetap tersenyum seperti biasa seolah tidak pernah mencium gelagat “puber ke-10” suamiku. Sepintar-pintarnya aku menutupi perasaan, anak-anak ternyata menyadari perubahan air mukaku.
Si bungsu pernah bertanya, “Bu, ada apa sih sama Ibu dan Ayah?” Aku lagi-lagi hanya tersenyum. “Tidak ada apa-apa, sayang. Ibu dan Ayah baik-baik saja,” jawabku menenangkan. Sebenarnya, perkataanku itu kutujukan lebih untuk menenangkan hatiku sendiri. Biarlah ini menjadi masalah kami..Walau dia sudah menyakitiku, aku bertekad tetap mempertahankan rumah tangga kami. Demi anak-anak.
*Based on true story...
dengan beberapa perubahan
2 comments:
dasar suami kurang ajar..
suruh keluar dari rumah aja, tapi harap tinggalkan semua sertifikat deposito,sertifikat rumah, asuransi, sertifikat tanah,emas berlian dll.harap bawa sarung butut aja !
uhuk..uhuk
nyokap gue selalu bilang:
"laki-laki itu kayak kucing. biar uda lo kasi daging, kalo dia mau ikan asin, ya tetep aja nyolong!"
dan nyokap gue juga sellau bilang:
"jgn kejar laki. kaloo dia mau lari, sekeras apapun lo kejar, kalo dia mau lari, lo ga bakal nemu! dan kalo lo keukeuh mau ngejar, jgn pernah ngeluh kalo lo sakit hati"
hmmmm... nyokap gue yg tabah...
dan nyokap gue yg cerdas. karena dia selalu minta semua surat tanah, sertifikat, bpkb dan sgala macem, dibuat atas nama nyokap, ato atas nama anak-anaknya.
dan gue... seneng diajarin yg pait-pait ama nyokap.
buakn skeptis bukan cunicall, nyokap cuma ngajarin gue realistis. biar suatu hari ga terlalu sakit untuk bangkit
Post a Comment